Pages

Thursday, November 15, 2012

Ketika Idealisme dan Nasionalisme Dipertaruhkan

....ini adalah sebuah artikel inspiratif...yang sengaja di'kopas' untuk sejenak membaca tentang diri, idealisme dan nasionalisme....  

Tinggal dan Sekolah di Luar Negeri Tak Berarti ‘Lebih’ 

Hampir dua puluh tahun,1993- 2010, saya beserta keluarga hidup dan tinggal menetap  di AS, mulai dari California, New York, Pennsylvania, dan saat ini bermukim di Northern New Jersey. Perlu untuk diketahui  sampai hari ini saya masih makan nasi maupun tempe dan tahu sebab makanan ini merupakan menu utama saya sehari-hari. Tinggal dan bekerja di AS merupakan suatu tantangan berat  untuk dihadapi sebab   semua pekerjaan rumah harus dikerjakan  dengan tenaga sendiri. Bila di Indonesia kita masih ada tenaga house maid / penolong di rumah tangga, sebaliknya  disini semuanya harus ditangani sendiri. Lagi pula mana kuat  membayar house maid US$ 10.00 per jam? Jadi jenis pekerjaan  dari laundry, clean up, lawn mover (potong rumput) hingga tugas yang paling merepotkan disaat musim gugur dan winter adalah membersihkan daun-daun yang berguguran yang harus disapu bersih dan dimasukkan dalam kantong yang disediakan township, demikian juga dengan sidewalk ( trotoar didepan rumah) harus dibersihkan pada saat salju turun padahal diluar dinginnya minta ampun, namun ini menjadi keharusan ( law)  dan jika anda  tidak membersihkan side walk tersebut  siap-siaplah membayar claim atau tuntutan yang dikirimkan oleh kantor pengacara bila ada orang yang terjatuh atas kealpaan anda  dengan tidak membersihkan trotoar untuk pejalan kaki didepan rumah anda.

Sebagai yang pernah merasakan tinggal dan bersekolah di luar negeri, sungguh sangat prihatin melihat bagaimana persepsi atas mereka yang tinggal dan sekolah di luar negeri. Dianggap “lebih” sehingga kemudian banyak yang merasa “lebih” juga dan tak sedikit yang meremehkan mereka yang tidak pernah ke luar negeri ataupun lulusan dalam negeri.Tentunya ini sebuah persepsi yang salah, kami tahu persis bagaimana kehidupan di luar negeri dan bagaimana perilaku serta tindakan kebanyakan orang Indonesia yang tinggal di luar negeri. Tidak menyamaratakan juga, ini hanya untuk memberikan pandangan dan wawasan yang berbeda agar tidak ada salah persepsi dan tidak ada yang merasa “lebih”. Sudah sepatutnya semua berbanggahati menjadi seorang Indonesia.


Mariska Lubis


Keluarga saya, sejak kakek dan oma saya, bahkan sebelumnya, sudah bersekolah di luar negeri. Mereka dulu sama-sama bersekolah di Belanda. Ayah saya dan keluarganya pun demikian. Semua sekolah di Eropa dan Amerika Serikat. Saya, adik-adik serta sepupu-sepupu saya juga melanjutkan tradisi ini. Kami semua sekolah menyebar di mana-mana, dan saya sendiri pernah merasakan sekolah di Amerika Serikat dan Australia. Apakah lalu kemudian kami berhak untuk merasa lebih hebat dari yang lain?! Tentu saja tidak!!!Luar negeri bukan hal yang baru atau aneh bagi keluarga kami, karena kami memang sudah terbiasa dengan semua ini. Apalagi, keluarga  saya berkecimpung di dunia politik, diplomasi, pendidikan, dan media. Sudah sedari kecil kami bertemu, berkomunikasi, dan juga berteman dengan warga asing. Salah seorang sahabat terdekat saya, Desiree Margahastuti, Kompasiners juga, dia masih ada keturunan Jerman. Ibunya orang Jerman tulen dan kami telah bermain bersama sejak Taman kanak-kanak karena kami satu sekolah. Seingat saya, bahkan dulu saya sempat diasuh oleh seorang nanny yang warga negara Belanda. Jadi, orang asing bukanlah orang yang hebat di mata saya. Sama saja, tuh!!!


Kami juga dididik untuk sangat mencintai bangsa dan negara ini. Bahkan kami sangat dianjurkan untuk tidak menikah dengan bangsa asing. Ya, itu sangat ekstrem, tetapi saya bisa mengerti maksud mereka. Mereka tidak ingin saya pergi dan melupakan tanah air tercinta ini. Saya selalu diajarkan untuk bangga sebagai anak Indonesia dan tidak boleh diinjak-injak oleh siapapun juga. Oleh karena itu, saya tidak pernah bisa merasa lebih hebat karena saya pernah tinggal dan sekolah di luar negeri. Ini hanya masalah kesempatan saja. Sudah seharusnya saya justru memiliki kewajiban lebih besar untuk membantu bangsa dan negara ini karena saya memiliki dan mendapatkan kesempatan itu.


Saya kebetulan bersekolah di sekolah yang jarang sekali ada orang Indonesianya. Sekolah saya memang jarang peminatnya dari Indonesia. Saya dulu mengikuti kelas di Harvard University, Boston, Amerika Serikat, juga Sydney University, Australia, dan seharusnya saya sudah melanjutkan lagi di Georgetown University, Amerika Serikat.  Di sanalah saya menuntut ilmu dan belajar. Bahkan untuk kelas dan jurusan yang saya ambil, hanya saya sendiri yang orang Indonesia.Yang lain kebanyakan adalah orang-orang dari berbagai negara yang memang kosentrasi pada bidang diplomatik, pendidikan, dan riset. Makanya sekarang, sahabat-sahabat saya itu banyak yang menjadi diplomat, professor, dan juga menjadi periset di berbagai lembaga dunia.


Sahabat dekat saya, Darshan Vigneswaran (Dar), seorang warga Australia campuran India dan Burma, sekarang sudah bergelar Professor dan menjadi peneliti masalah politik migrasi di Eropa dan Afrika Selatan. Hasil risetnya sudah mendunia. Almarhum ayahnya pun orang hebat. Seorang dokter jantung terkenal dunia yang bermukim di Adelaide, Australia. Keluarganya salah satu pemilik Sax Avenue yang terkenal di kota New York,  Amerika Serikat.

Satu lagi, Elizabeth Rihani (Liz), seorang warga Amerika turunan Yordania, bekerja sebagai Humas di Chamber of Commerce (Kamar Dagang) Amerika Serikat. Ayahnya adalah arsitek terkenal di dunia  Arab. Sewaktu terowongan mina hancur, ayahnyalah yang memperbaikinya. Makanya, dia waktu menikah pun di Taman Gantung Babylonia dan dihadiri oleh banyak orang-orang penting dari Arab termasuk para pangerannya.

Apa mereka menginjak-injak saya?! Apa saya mau memuja mereka?! Sama sekali tidak!!! Kami merasa sama dan itulah yang membuat kami bisa dekat dan bersahabat hingga saat ini. Rasa hormat dan saling menghargai itulah yang membuat kami sama. Mereka dan keluarganya bahkan pernah datang ke Indonesia. Saya, Darshan, dan Liz, pernah keliling Indonesia bersama dan backpackers. Bisa saja kami memilih tinggal di hotel mewah, tetapi lebih seru keliling-keliling camping dan tinggal di tempat yang seru-seru. Saya pun senang karena mereka bisa merasakan dan melihat bagaimana Indonesia. Mereka sangat terkagum-kagum dan takjub!!! Mereka tidak akan pernah melupakan Indonesia dan selalu bercerita kepada banyak orang tentang keindahan pesona Indonesia.


Satu lagi sahabat saya, Ian Bainbridge, asal Inggris. Kami berteman karena pernah sama-sama bekerja di Siemens. Dia adalah seorang yang sangat ahli IT dan memiliki banyak perusahaanIT yang tersebar di Jepang, Singapura, Inggris, Jerman, dan Afrika Selatan. Hasil karyanya sudah mendunia dan diakui dunia. Bila kenal dengan program ERP SAP, dia adalah salah satu engineer yang membuatnya. Dia sama sekali tidak pernah meremehkan saya meski saya sering mengajaknya jalan-jalan ke pedalaman, seperti Baduy dan berlomba menyetir bajaj dari depan gedung Sarinah sampai Menara Kuningan, Jakarta. Kami juga sama-sama membantu para mahasiswa pada peristiwa Semanggi dengan membagikan makanan dan obat di tengah-tengah keributan. Dia mau turun tangan dan tidak merasa takut sama sekali. Kenapa?! Dia tahu persis apa dan kenapa saya mau melakukannya. Dia tahu bagaimana rasa cinta saya kepada tanah air ini dan dia mendukungnya sepenuh hati. Dia sangat menghormati semua ini dan saya sangat berterima kasih kepadanya.

Jika mau bersombong dan tinggi hati, saya juga bisa, kok!!! Saya diwisuda langsung oleh Queen of Education, Australia.  Saya pernah hadir, makan, dan berpidato tentang Pelucutan Senjata, Globalisasi,  dan Hubungan Internasional bersama Kim Yong Sam di istananya di Seoul, Korea Selatan. Pernah juga berpidato di depan duta warga seluruh dunia di ajang politik dunia, di depan para senator dan diplomat di beberapa negara atas undangan mereka.  Berbincang dan bertatap muka langsung dengan artis?! Brad Pitt, Keanu Reeves, para bintang Miami Vice, dan beberapa group musik dunia. Tulisan dan foto hasil jepretan saya pun ada di beberapa media cetak internasional. Mau apa lagi?!

Terus terang saja, saya malu!!! Negara ini memiliki banyak sekali orang hebat dan mereka tidak pernah ke luar negeri ataupun bersekolah di luar negeri. Mereka jauh lebih membanggakan. Kenapa?! Karena mereka bangga sebagai orang Indonesia!!! Mereka bangga menjadi diri mereka sendiri dan bukan bangga karena menjadi orang lain atau karena orang lain!!!Saya sebenarnya tidak suka sama sekali menceritakan ini semua, tetapi sepertinya saya harus menceritakannya. Silahkanlah bersombong dan tinggi hati karena tinggal di luar negeri, sekolah di luar negeri atau memiliki pasangan orang asing, karena itu semua justru menunjukkan siapa diri yang sebenarnya.  Sekolah di mana dulu?! Memangnya semua sekolah di luar negeri bagus?!Memangnya nggak ada yang “asal” sekolah dan bisa dengan mudahnya lulus?! Yang beli ijazah di luar negeri juga banyak, deh!!!  Pakai sok-sok lupa bahasa Indonesia pula!!! Jadi ingin ketawa!!! Boleh di Test Toefl atau IELTS!!! Mungkin lebih banyak yang jadi lebih pandai berbahasa daerah daripada yang berbahasa asing. Bergaulnya juga sama orang Indonesia terus. Sama orang asing sendiri, biarpun teman, tetap saja minder. Jika ngobrol pun paling “Oh Yes, Oh No”. Nggak ngerti, sih!!!Ayo banggalah menjadi orang Indonesia sejati!!! Orang asing dan bangsa asing tidak lebih hebat dari kita!!! Lulusan luar negeri dan tinggal di luar negeri pun tidak berarti lebih hebat dari yang lainnya!!! Tunjukkan dan buktikanlah!!!*****


Inge

Luar Negeri atau Dalam Negeri, hanyalah sebuah perbedaan lokasi

Lain Mariska lain saya. Pengalaman saya tidaklah seheboh pengalaman Mariska secara latar belakang keluarga kami memang berbeda. Menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri adalah bukan suatu hal yang pernah terpikirkan oleh kedua orangtua saya. Teringat saat-saat akan berangkat ke luar negeri. Beberapa sahabat saya berkata bahwa pasti saya akan terpikat dengan pria bule dan akan mendapatkan jodoh pria bule. Aha! Balasan saya saat itu hanyalah: apa sih hebatnya pria bule dibandingkan pria Indonesia? Bagi saya pria adalah pria, tidak penting kewarganegaraannya. Yang penting adalah apakah alat reproduksinya masih bisa berfungsi dengan baik. Tentunya ini hanyalah sekedar candaan saya saja.


Hidup di luar negeri tidak serta merta akan menghilangkan rasa cinta pada tanah air, apalagi sampai harus melupakan bahasa ibu kita. Selama hampir lima tahun hidup di luar negeri, saya masih lancar dan fasih berbahasa Indonesia. Bahkan mantan teman dekat saya yang berasal dari Portugal telah saya ajarkan beberapa kosakata dalam Bahasa Indonesia termasuk kata dudul. Beliau adalah seorang ilmuwan dan dosen dibidang geologi di Portugal yang saat ini sedang menyelesaikan studi S3-nya di UK dan Portugal. Berbagai penelitian telah beliau lakukan bahkan pada tahun 2008 kemarin dia memenangkan hadiah utama untuk penelitian yang dilakukannya yang memberikan kesempatan kepada dia untuk melakukan pengajaran singkat di USA. Beberapa bulan yang lalu beliau telah melamar saya untuk menjadi istrinya, namun untuk alasan yang tak perlu saya sebutkan disini, saya menolaknya. Dia juga bukan satu-satunya pria warga negara asing yang pernah melamar saya. Seorang pria kelahiran Inggris yang mantan dosen di Oxfrod University pun pernah melamar saya untuk menjadi istrinya.


Tidak hanya mantan teman dekat yang saya ajarkan kosakata dalam Bahasa Indonesia. Bayi teman saya yang saya asuh disini juga saya ajarkan beberapa lagu anak-anak Indonesia. Lagu Burung Ketilang dan Kupu-Kupu Yang Lucu adalah lagu pengantar tidur Rosey. Bahkan sekarang saya mencoba menyanyikan lagu-lagu anak Indonesia yang lain seperti Balonku Ada Lima dan Pelangi-Pelangi. Tiap kali dia mendengarkan lagu-lagu dalam Bahasa Indonesia, dia akan menyimak dengan gembira. Ibunda dari Rosey sendiri yang meminta saya untuk memperkenalkan bayinya dengan kosakata Bahasa Indonesia. Jika orang lain saja yang non-Indonesia tertarik dengan bahasa kita, lantas mengapa kita sendiri harus dengan secara sengaja melupakannya hanya dengan alasan hidup dan tinggal di luar negeri?Tidak hanya soal bahasa yang saya perkenalkan pada teman-teman saya disini. Makanan dengan cita rasa Indonesiapun saya perkenalkan disini, termasuk yang paling gampang saya buat tentunya, yaitu nasi goring dan ayam bakar madu. Kata siapa bule tidak makan nasi? Di UK saja penduduk lokalnya sudah mulai senang makan nasi dikarenakan pengaruh dari India dan Cina.Bagi saya hidup di luar negeri ataupun di Indonesia tidak berbeda jauh, karena pointnya adalah bagaimana kita menjalin relasi dengan sesama. Tinggal di luar negeri hanya masalah lokasi. Tidak ada yang istimewa. Semuanya punya kelebihan dan kekurangan.Yang jelas banyak pengalaman-pengalaman menarik yang sudah saya alami disini. 


Pernah sekali saya diminta untuk mengambil bagian dalam ibadat sabda dalam rangka penutupan Konferensi Uskup Agung seEropa-Afrika yang disiarkan secara langsung oleh BBC Radio. Saat itu saya diminta untuk membaca Kitab Suci dalam perayaan tersebut.Saat ini saya terlibat aktif dalam kegiatan gereja untuk kaum awam bernama Legio Maria dimana kegiatan ini lingkupnya adalah lingkup dunia dan berpusat di Dublin, Irlandia, dan menjadi salah satu organisasi dalam lingkungan Gereja Katolik yang diakui secara sah oleh Vatikan. Bulan lalu saya diminta untuk menjadi assistant secretary untuk tingkat Senatus wilayah Liverpool. Senatus setingkat dibawah tingkat pusat yang disebut Konsilium dalam struktur organisasi Legio Maria.Lewat keterlibatan aktif saya di gereja, saya sudah bertemu dengan beberapa pejabat penting baik dalam lingkup pemerintahan ataupun gereja. Saya beberapa kali bertemu dengan Lord Mayor dalam kegiatan-kegiatan gereja. Bertemu dengan pejabat negara di UK tidak seketat di Indonesia. Semuanya biasa-biasa dan santai-santai saja. Juga beberapa bulan lalu saat gereja merayakan Pantekosta, Wakil Paus yang membidangi masalah Chrisitan Unity sempat hadir di Liverpool memberikan misa dan saya sempat berkenalan dengan beliau sambil berbincang-bincang sedikit tentang Indonesia.Sama seperti apa yang dipaparkan oleh Mariska diatas, tinggal dan sekolah di luar negeri tidak serta merta menjadikan kita ‘lebih’. Kata siapa orang luar negeri itu pintar-pintar? Dimana-mana terdapat orang pintar dan bodoh, hanya saja mungkin bentuknya yang berbeda. Kata siapa bahwa di luar negeri seperti di UK tak ada pengemis, prostitusi, gelandangan, dan lain-lain? Jangankan pendatang, penduduk lokalpun ada yang menjadi pengemis, gelandangan, pekerja seks, dan lain-lain. Nanti saja jika saya berkesempatan melakukan peliputan, saya akan memberikan foto-foto para gelandangan dan pengemis di Liverpool. Masing-masing negara mempunyai persoalannya sendiri-sendiri dan tidak ada satu yang lebih baik dari yang lainnya.Bukan karena seseorang tinggal dan sekolah di luar negeri yang menjadikannya ‘lebih’, tetapi sumbangsih dia pada kehidupan bermasyarakat yang membuat seseorang itu menjadi ‘lebih’ dalam arti bermakna.*****


Joe Timothy

Apa yang harus dibanggakan bila semua dikerjakan sendiri?

Sejujurnya hidup di negeri orang itu sama saja dengan hidup di negeri sendiri. Bahkan jika anda tidak bisa menyesuaikan diri dan kurang mengerti akan bahasa setempat bisa-bisa anda merasakan neraka dunia sangking  sakitnya hidup di negeri orang, seperti pengalaman wanita X yang pernah saya tolong beberapa waktu lalu.  Wanita Indonesia ini menikah dengan orang Amerika, saya tidak mengenal sebelumnya wanita ini dan menurut pendapat saya dia mungkin  terbuai dengan Negara Amerika, maka tanpa pikiran panjang mau saja dia diajak kawin dan dibawa ke AS. Sampai disini wanita ini ternyata disia-siakan oleh si Bule, pendek cerita tempat kamilah yang menjadi penampungan sementara agar wanita ini dapat menenangkan pikiran maupun derita yang dia alami, apalagi saat itu dia sudah hamil empat bulan.  Syukur dengan pertemanan saya dengan seorang lawyer si bule ini sadar dan  tuntutan yang kami ajukan bila dia menyia-nyiakan wanita Indonesia ini adalah dengan sytem alamony ( membayar kebutuhan hidup wanita indo ini beserta bayinya seumur hidupnya).


Jika memungkinkan bila waktu pensiun tiba dan anak-anak sudah selesai bersekolah dan menjalankan kehidupan mereka sendiri-sendiri saya beserta istri berencana untuk kembali ke Indonesia dan ingin menghabiskan hari tua didaerah Solo Jawa Tengah ( tepatnya di Mojo Songo), sambil memelihara perkutut dan bermain musik gamelan, suatu keinginan yang belum terlaksana sampai hari ini. Tidak salah bagi kita untuk tinggal dan bekerja diluar negeri serta menikah dengan pria atau wanita dari bangsa lain, namun hendaklah kita memiliki prinsip bahwa darah Indonesia tetap mengalir dalam tubuh kita dan juga anak-anak yang kita lahirkan dinegeri orang.*****


Della Anna

Luar Negeri impian bagi setiap orang … benarkah ?

Siapa kira nasib akhirnya terpisah dari orang tua dan adik-adik.  Hidup sendiri, mengurus diri sendiri, menahan rasa rindu pada keluarga sendiri.  Sementara banyak teman-teman di Indonesia berkata pada ku,  duh  enaknya tinggal diluar negeri, apalagi kalau bisa sambil bekerja.Padahal tak semudah itu tinggal di luar negeri, masih banyak prosedur yang harus ku penuhi.  Bukan hanya prosedur curiculum vitae pribadi, tetapi juga izin dari pemerintah Belanda sendiri.Yah,  aku  sendiri bisa timbul rasa kasihan pada teman-teman se-angkatan waktu di Universitas  dulu, yang kalau ku bandingkan situasi mereka jauh berbeda dengan diriku,  tetapi in qua perbandingan dengan tinggal ditanah air sendiri, dekat dengan sanak famili, dekat dengan teman-teman dan tak susah-susah melengkapi diri secara khusus, sepertinya untuk ku  lebih baik saya tinggal di negara sendiri.


Persepsi teman-teman kalau tinggal di luar negeri itu mudah dan enak sepertinya tidak benar.  Karena di tempat dimana saya tinggal Limburg tidak semudah itu seorang warga negara asing menempatkan diri,  lihat saja ijazah hukum ku  yang ku peroleh dengan susah payah, apakah laku !,  jawabannya duh miris banget.  Bukannya pemerintah Belanda tidak mau mengakui level pendidikan akademis kita, tetapi apa yang kita pelajari itu tidak tepat dengan apa yang harus dipraktekkan pada negara lain.  Aku masih ingat tahun pertama ketika ada di negeri orang, bukan saja cuaca yang menjadi persoalan tetapi juga bahasa.  Nah inilah persoalan utama yang harus ku selesaikan.  Kalau ku  perlihatkan ijazahku, now  mereka angkat bahu dan bilang sama ku  ” cerita apa itu ! ”.  Wah sakit hati rasanya harus mengulang ini itu tentang apa arti ijazah itu untukku.  


Well akhirnya aku  harus menempuh masa pendidikan kembali ditanah orang ini. Berat sekali karena pertama bahasa  harus ku perdalam.  Aku bukan ambil S2 atau S3  tetapi mengulang dari pertama.  Ber-untung sich basis  bahasa Belanda ku sudah didapatkan dari kebiasaan berbicara dirumah, meskipun ijazah dari Erasmushuis di Embassy Kerajaan Belanda di Jakarta juga diperlukan.He  he he , sambil tersenyum aku jadi ingat masa-masa sulit ketika tahun pertama  tinggal di negeri orang ini, sambil sekolah maka setiap weekend  jadi pekerja memetik tomat di  rumah kaca /kas.   Semua kerja musiman aku  kerjakan sampai tangan hancur-hancur, padahal teman ku  @Anna Dwijayanti di Indonesia duduk tenang jadi hakim tinggi di Bandung.  Punya mobil sendiri, malah ada supir pribadi.  Wah disini aku harus  pakai sepeda  yang butut  kesana kemari,panas hujan, badai salju atau hujan es,  masih mending jadi pemetik tomat di rumah kaca, sekali aku pernah jadi pekerja clean service  di setasiun kereta api, bayangkan saja kerja nyapu-nyapu- pungutin kertas-kertas sampah, bersihkan wc umum di stasion dsb.  Pokoknya di Belanda sini asal ada niat bekerja, maka selalu ada pintu terbuka. semuanya halal.  Pernah jadi pelayan snack -bar - semacam Mc Donald begitulah.  Pernah kerja jadi pemotong bunga segar ditoko  bunga.  semua kulakukan agar bisa menambah biaya studi dan keperluan hidup.Aku  juga sakit hati ketika suatu saat harus berkelahi besar-besaran ditanah air sendiri,  tepatnya di Cengkareng airport, dan tepatnya dengan petugas pembayaran fiskal luar negeri,  wah korup dia,  dia pikir aku buta hukum dan peraturan barangkali.  Semua keterangan tentang kapan dan berapa lama aku  tinggal diluar negeri dibuat tidak benar oleh dia, sehingga aku harus bayar fiskal luar negeri, padahal Surat Bebas Fiskal sudah ada ditangan ku dari KBRI kita di Den Haag.  Hem…  ku pikir dasar mental KKN orang Indonesia yang tidak pernah luntur.kenapa yah  bangsa kita terbiasa memeras  sesama bangsa !,  mengapa yach bangsa kita setelah merdeka 65 tahun dari kolonialisme masih meneruskan sifat menjajah terhadap bangsa sendiri !.   Lihat TKI  kita,  semuanya diperas habis gaji mereka.  kasihan dan trenyuh aku.Tahun-tahun yang sulit sudah ku lalui.  Pendidikan yang ku tempuh akhirnya selesai.  pasti pembaca mengira, wah enak  ya sudah mendapat ijazah luar negeri, pasti kerjanya enak.  


Duh !  hi hi hi, belum tahu saja bagaimana sepak terjang ku  untuk membuktikan bahwa aku  ini seorang berkulit lain daripada bule harus mencari pekerjaan dengan ijazah luar negeri  hingga mendapat kedudukan yang setaraf dengan rekan-rekan bule Belanda.Ada pepatah mengatakan, jangan mengharap   duduk dengan pakaian berdasi dibelakang meja yang licin bila kau belum membuktikan apa kwalitasmu dalam pekerjaan.  Well di Belanda sini apa yang ada didalam curriculum vitae harus menjadi bukti nyata itulah kita.  Jadi bukan tong kosong nyaring bunyinya.  Atau janji-janji gombal.Aku  masih ingat pekerjaan ku  yang betul-betul dikantor adalah duduk sebagai pegawai administrasi biasa front-office, terima orderan, terima post, terima tamu dsb padahal di Indonesia aku  seorang hakim tinggi untuk Pengadilan Tinggi,  koq  bisa !Hem,… ku lepaskan jabatan hakim itu karena aku menilai keadilan bisa dibeli . Aku  tidak cocok bekerja untuk peradilan di Indonesia yang kental dengan KKN.  Jiwa ku  berontak.  Gimana gak kesal setiap hari rumah  ku  didatangi oleh penyogok, mereka sogok dengan uang yang lebih besar daripada gaji ku sendiri sebagai hakim.  Apakah aku  tak tahu malu !  Hem.. kalau aku meneruskan pekerjaan itu, maka otak ku  sendiri sebenarnya sudah kena racun… he  he he  otak keong racun ! Atau aku persis anggota DPR sekarang yang kenyang dengan julukkan Srimulat.Kini dengan kerja keras yang tidak pernah terputus-putus akhirnya aku boleh memetik hasilnya.  Malah aku sangat sedih kalau mendengar bagaimana birokrasi di Indonesia justru mempersempit lapangan pekerjaan untuk rakyatnya sendiri.  Mengapa harus demikian?,  maka tak heran mengapa banyak rakyat lari mengadu nasib untuk se-suap nasi ke luar negeri menjadi TKI.  


Sementara nasib mereka tak jelas.Mengapa kita tidak bisa bangga dengan lapangan pekerjaan sendiri ditanah air ? mengapa !   Karena lapangan pekerjaan hanya tersedia bagi mereka yang memiliki koneksis.  Aku !   Aku  tak  punya koneksis, aku  hanya punya kesanggupan kerja keras dan motivasi.Ku tetap bangga sebagai bangsa Indonesia,  yang masih mempunyai cita-cita pulang kembali kenegaranya untuk berbakti selama hayat ini masih dikandung badan. Why not !   Aku kan berdarah Indonesia, merahnya sama dengan warna benderaku, dan cita-citaku putih sama dengan putih warna benderaku !  sama juga warnanya dengan darahmu, apa bedanya kah kita ?Salam hangat bangga akan diri sebagai WNI @Della Anna

sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2010/08/26/tinggal-dan-sekolah-di-luar-negeri-tak-berarti-lebih-239120.html


No comments:

Post a Comment