Pages

Saturday, January 21, 2012

"Are You Happy?"

Rasa prihatin seketika muncul bila dalam kelas pelatihan saya menangkap ekspresi tidak “happy” di dalam diri calon-calon eksekutif cemerlang. Banyak yang mengeluh keadaan organisasi yang mengharuskan birokrasi. Banyak juga yang merasakan menjadi victim karena “masih yunior”. Sebagian besar tidak rela pulang malam hari, masuk pada akhir pekan, dan tidak menemukan “manfaat” atau sisi positifnya bila harus berpartisipasi pada acara-acara yang bertujuan meningkatkan motivasi dan memberi julukan kegiatan semacam itu sebagai “ekstrakurikuler” yang memberatkan. 
Seorang yang lebih serius mencoba mengurai panjang lebar mengenai kesenjangan harapan dalam kehidupan pribadinya dengan ambisi karirnya. Oleh karena itu ia pada suatu saat harus “memilih” antara karier atau kehidupan pribadi. Kita tentu bertanya-tanya, apakah kehidupan di kantor memang berbeda 180 derajat dengan kehidupan rumah sehingga banyak orang mengejar keseimbangan rumah–kantor alias “work life balance?” Apakah kita tidak bisa menjadi satu orang yang sama-sama bahagia, saat di kantor dan di rumah? Apakah di kantor kita harus “menjadi orang lain” dan meninggalkan sebagian dari diri kita di rumah?
Menyalurkan “happiness” secara strategik
Seorang profesor di bidang marketing, Jennifer Aaker, sangat meyakini bahwa upaya untuk mengejar happiness di perusahaan akan membuahkan produktivitas yang luar biasa. Ia melakukan eksperimen dengan meminta karyawan disuatu perusahaan membuat  foto situasi-situasi yang membuat mereka paling happy di kantor, dan membuat rating dari angka 1–10. Hasil dari penelitian kecil ini menggambarkan  bagaimana orang di kantor tersebut bisa menemukan kebahagiaan dari hal-hal di dalam pekerjaannya. Banyak orang menyatakan kadar happiness yang muncul saat berhasil menyelesaikan suatu tugas yang sulit setara dengan kepuasan saat menuntaskan lari maraton atau kelegaan perasaan sehabis ujian. Penelitian ini juga menggambarkan bahwa banyak karyawan yang menemukan pengalaman-pengalaman “berarti” di pekerjaan yang sama rasanya dengan bila sedang menikmati entertainment, misalnya pada saat mendapatkan tugas baru, membantu teman menyelesaikan tugasnya, atau membawa anggota keluarga ke kantor. Ditemukan juga dalam penelitian ini bahwa hampir semua karyawan excited untuk menemukan momen-momen yang membahagiakan karena maraknya media sosial seperti Facebook dan Twitter, serta kebutuhan mereka untuk menunjukkan foto-foto kegiatan mereka di situs-situs tersebut.
Disadari atau tidak “happiness” sudah menjadi komoditas. Bila biasanya kita melihat happiness sebagai suatu keadaan yang merupakan output dari situasi, sikap dan suasana dari suatu organisasi tertentu, sudah saatnya kita menjadikan happiness tidak sekadar sebagai fitur, tetapi bahkan sebagai bisnis model yang mewarnai berbagai proses dalam situasi kerja. Hal inilah yang diyakini dan diterapkan oleh Tony Hsieh, CEO Zappos. Ia sadar betul bahwa pelanggan harus dilayani oleh orang-orang yang happy. Hanya orang-orang yang happylah yang bisa duduk lebih lama dengan pelanggan dan berusaha memahaminya. “Customer service is about making employees happy, so let’s just simplify it and at the same time, amplify our vision for our customers, employees, vendors, and peers.” Demikian tony Hsieh menyebarkan positive psychology kepada stakeholdersnya. Dengan fokus pada happiness dalam kultur perusahaan dan upaya customer servicenya, Zappos tidak harus susah-susah membuat para pelanggan berada ditengah-tengah kegiatan customer services Zappos. Pendekatan ini benar-benar pendekatan “beyond” money.
“Happiness” itu serius
Walaupun happiness selalu mengandung unsur “pleasure”, membentuk kultur yang diwarnai happiness tidaklah mudah. Kita tidak bisa santai-santai dan secara otomatis mendapatkan keadaan ini. Kita perlu bekerja keras mengupayakan status ini. Ahli positive psychology, Martin Seligman mengatakan, “it is not an easy task, but it is easily the most important one that we have in our lives. After all, what is the point of living if we are not happy?” Karyawan perlu mempersepsikan bahwa tuas kontrol yang mengatur happy dan tidaknya dia, ada dalam dirinya, bukan ditentukan oleh atasan atau perusahaan. Ia pun perlu merasakan kemajuan kinerja perusahaan untuk menjaga semangatnya. Kebersamaan dan keterikatan dengan rekan sejawat juga penting. Selain itu, perlunya diperjelas “arti dan nilai” dalam bekerja.
Kita bisa melihat bahwa sistem reward model “carrot and stick” sudah basi. Saat sekarang karyawan akan happy bila pekerjaannya terkait dengan hal yang lebih “besar” seperti pelestarian lingkungan, pengajaran, situasi yang melibatkan orang yang lebih banyak atau dunia yang lebih global. Bukankah Al Gore menginspirasi hampir separuh populasi dunia dengan kepeduliaannya terhadap perubahan iklim? Karyawan bisa happy dan lupa waktu saat bekerja keras bila ia tahu betapa pekerjaannya membuat impact terhadap dunia. Kita semua tahu bahwa kebahagiaan tidak bersumber dari uang, mobil bagus, rumah seperti istana, bukan? Prinsip inilah yang perlu dipegang pada saat kita menghadapi generasi muda yang kritis, dan persaingan bisnis yang tidak menentu ini.      


sumber: kompas cetak, Sabtu-21 Januari 2012
Eileen Rachman & Sylvina Savitri

No comments:

Post a Comment